Teori Pembangunan Pertanian dan Fenomena Pertanian Indonesia


Laporan Fokus (Kompas, 17/1/2004) tentang Kisruhnya Politik Pangan banyak menguak tabir persoalan pangan dan pertanian di Indonesia yang tak pernah selesai dari dulu hingga sekarang. Beberapa narasumber telah menyoroti akar persoalan dari mulai kebijakan produksi, impor, keterbatasan lahan, sampai pada kelembagaan di sektor pertanian.Namun, keseluruhan pandangan itu belum secara tegas menyatakan jalan apa yang harus ditempuh Indonesia dalam membenahi masalah pangan dan sektor pertanian.
Sebagian lebih menggunakan pendekatan produksi, pasar, dan mekanisme perdagangan yang selama ini menjadi bagian dari paradigma pembangunan pertanian di masa Orde Baru (Orba). Tulisan ini dimaksudkan memberi pandangan lebih mendasar tentang kegagalan pembangunan sektor pertanian di Indonesia sekaligus langkah apa yang perlu ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah pangan yang kian mengemuka. Sejak awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia berubah drastis seiring perubahan paradigma pembangunan ekonomi kapitalistis yang bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan ekonomi saat itu, sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai fondasi ekonomi nasional, tetapi dijadikan buffer (penyangga) guna menyukseskan industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi.Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan Orba adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla) yang dijadikan landasan utama dalam program pembangunan pertanian semesta. Kebetulan pada saat bersamaan arus global politik-ekonomi dunia memperkenalkan revolusi hijau sebagai lawan dan alternatif revolusi merah.

Orba yang sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi kapitalis cenderung melaksanakan pembangunan pertaniannya melalui by-pass approach (jalan pintas), yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria (pembaruan agraria). Karena itu, pembangunan di Indonesia oleh Rohman Sobhan (1993) disebut sebagai development without social transition (Wiradi, 1999).

Perubahan paradigma ini menciptakan missing link dalam pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam aspek menyeluruh, tetapi direduksi sebagai sekadar persoalan produksi, teknologi, dan harga. Tanah sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting. Persoalan keterbatasan lahan petani yang rata-rata hanya memiliki 0,25 hektar, menurut Syaiful Bahari dari Bimas Ketahanan Pangan, dapat diatasi dengan menempuh non-land based development (Kompas, 17/1/2004), bukan dengan merombak dan menata kembali struktur penguasaan tanah yang lebih adil dan merata melalui reformasi agraria. Cara pandang seperti ini merupakan cermin jalan pintas yang mendominasi kebijakan dan strategi pembangunan pertanian sejak masa Orba hingga sekarang.

Keberhasilan Orba dalam swasembada pangan terutama beras pada tahun 1986 tidak sepenuhnya dapat dipandang sebagai kebenaran paradigma dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan Survei Agro Ekonomi (SAE) dan lembaga-lembaga lain menunjukkan, justru di saat produksi beras mencapai titik puncak, jumlah petani gurem kian meningkat dari 50,99-persen menurut Sensus Pertanian 1983-menjadi 51,63 persen tahun 1993 dan berdasarkan sensus tahun 2003 terjadi peningkatan 2,6 persen per tahun. Hasil penelitian di tingkat mikro di beberapa desa memperjelas keterkaitan antara kepemilikan lahan, tingkat kemiskinan, dan kerawanan pangan. Kelompok masyarakat paling miskin dan rawan pangan di pedesaan adalah petani gurem dan buruh tani.

Lantas ke mana larinya surplus pangan itu? Siapa yang memetik keuntungan jerih payah petani? Mengapa tidak terjadi transformasi sosial-ekonomi pedesaan di saat pertanian telah menciptakan surplus? Kelompok yang paling diuntungkan selama zaman emas adalah kaum industrialis. Kebijakan politik-ekonomi Orba menggunakan surplus pertanian guna menyubsidi sektor industri lewat politik pangan murah untuk menjaga stabilitas upah buruh demi mempercepat proses industrialisasi.

Di beberapa negara seperti China dan Korea Selatan, strategi itu digunakan. Namun, ketika industri telah menghasilkan surplus, sebagian keuntungan dikembalikan lagi ke sektor pertanian. Hal inilah yang tidak terjadi di Indonesia. Kasus Indonesia, setelah pertanian diperas habis lantas ditinggalkan. Surplus industri justru dipakai untuk konsumsi barang mewah, pembangunan properti, dan sebagian lagi dibawa lari ke luar (capital outflow). Pertanian hanya ditempatkan sebagai subordinasi sektor industri sehingga tidak pernah terjadi transformasi sosial-ekonomi di pedesaan maupun tingkat nasional.

Persoalan pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi, tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian: (1) akses terhadap kepemilikan tanah; (2) akses input dan proses produksi; (3) akses terhadap pasar; dan (4) akses terhadap kebebasan.
Dari keempat prasyarat itu yang belum dilaksanakan secara konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap mempunyai risiko politik tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan pada produksi dan pasar.

Padahal, apabila kita bercermin pada kisah sukses pembangunan pertanian di Jepang, Thailand, Korea Selatan, Taiwan, China, dan Vietnam, semuanya tidak terlepas dan diawali dengan perombakan dan penataan kembali struktur penguasaan tanah yang timpang melalui program reformasi agraria. Reformasi agraria sendiri mencakup redistribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan infrastruktur pertanian, fasilitas permodalan dan teknologi tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan proteksi terhadap produk-produk pertanian.

Keberhasilan negara-negara itu dalam pelaksanaan reformasi agraria telah memberi landasan kuat guna menempuh jalan industrialisasi dan transformasi sosial-ekonomi dalam skala nasional. Dapat dikatakan, reformasi agraria hingga kini adalah jalan terbaik bagi negara-negara agraris seperti Indonesia untuk melakukan transformasi sosial-ekonomi dan membangun fondasi ekonomi nasional yang kokoh. Sayang, di Indonesia isu reformasi agraria masih menjadi momok menakutkan karena dianggap sebagai warisan konflik berdarah tahun 1965. Selain itu, pemerintah juga masih amat percaya dengan resep non-land based development sebagai cara efektif untuk mengatasi krisis pangan dan sektor pertanian. Kita hanya bisa membanggakan kesuksesan negara-negara Asia yang disebutkan di atas tanpa melihat konteks sejarahnya.

Sebenarnya, sudah sejak lama masalah ketimpangan penguasaan tanah ini terjadi, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Persoalan ini merupakan warisan kolonial Belanda yang belum pernah terselesaikan hingga kini. Program land reform yang dilaksanakan pertengahan tahun 1960-an akhirnya kandas di tengah jalan seiring perubahan sistem politik dan ekonomi di bawah Orba.

1 komentar:

  1. setiap kebijakan baru seperti angka 5,6,7. dan kita bangga sudah mencapai angka 7 sebab sebentar lagi akan sampai 10. Sayangnya dengan banyak alasan menginjak 8 pun tidak. saran saya : coba mulai dari 1, terus 2 dst hingga 9..... baru 10. tapi nggak gampang lho ini wkwkwkwkwkwkw.....

    BalasHapus