Nasib pornografi di Tanah Airku


Pelecehan seksual adalah suatu bentuk tindakan atau percakapan seksual dimana seorang dewasa mencari kepuasan seksual dari seorang anak. Dan Pelecehan seksual pada anak dapat mencakup bentuk atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban, termasuk didalamnya kontak fisik yang tidak pantas, membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.


Sebelum munculnya World Wide Web, pornografi hanya muncul di beberapa majalah, buku, dan film dewasa yang biasanya dijual oleh perusahaan yang tidak banyak diiklankan atau sulit diakses oleh publik (dipasarkan secara illegal/seludupan). Namun, sekarang dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat hal ini tersedia bagi siapa saja, termasuk anak muda, hanya dengan menggunakan komputer atau perangkat akses Internet lainnya. Internet sekarang menyediakan jutaan halaman web yang berkaitan dengan pornografi yang dapat dibeli melalui situs Web komersial atau diakses tanpa biaya dengan online. Dan bahkan lebih mengganggu adalah bahwa daya tarik terhadap pornografi tampaknya tumbuh secara eksponensial di seluruh dunia dengan cara yang terorganisasi. 

Untuk membantu melindungi anak muda yang terkena dan dirugikan oleh pembuatan pornografi, sebagian besar negara sangat mengutuk penciptaan, distribusi, atau kepemilikan pornografi ini. Khususnya negara kita (Indonesia) secara tegas melarang segala bentuk pornografi anak. Seperti yang terdapat dalam KUHP pada pasal 287, 290, 293, 294, 295 dan UU Perlindungan anak No.23 Tahun 2002 yaitu pasal 78, 82, 88. Dari semua pasal-pasal di atas dijelaskan tentang ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan kepada pihak yang melakukan pelecehan seksual.

Namun demikian, pelaku pornografi saat ini lebih mahir dalam menggunakan/memanfaatkan fasilitas untuk membuat dan memasarkan barang dagangan mereka di seluruh dunia melalui jaringan peer-to-peer, news group, dan Chatting di jejaring sosial. Hal ini membuktikan sumber daya penegak hukum relatif terbatas. Penyidikan dan penuntutan pornografi anak lebih lanjut terhambat oleh kemampuan pelaku untuk menyembunyikan identitas online mereka yang sebenarnya. Hal ini membuktikan adanya kegagalan dalam hukum perundangundangan yang sudah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar